Atdikbud Canberra Pertemukan Peneliti Indonesia dan Australia, Bahas Teknologi 3D Printer
Canberra, 3 Maret 2022 — Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, Mukhamad Najib, mengungkapkan pentingnya komunikasi antara peneliti di Indonesia dengan peneliti dari negara-negara lain, terutama Australia yang merupakan negara sahabat dan tetangga dekat Indonesia.
“Pemerintah, dalam hal ini KBRI Canberra, terus mendorong dan memfasilitasi budaya riset dan kolaborasi untuk memajukan Indonesia,” ucap Atdikbud Najib.
Hal ini disampaikannya dalam acara yang digelar KBRI Canberra bersama Indonesian Academics and Researchers Network Australia (IARNA) menyelenggarakan kegiatan seminar secara daring bertema, “Recent Update on 3D Printing Technology for Concrete”, Jumat (25/2).
Menurut Atdikbud Najib, seminar daring ini bertujuan memfasilitasi komunikasi antara peneliti Indonesia dan Australia dalam bidang yang sama sehingga bisa berlanjut dengan kolaborasi.
“Acara ini penting dilakukan agar peneliti Australia dan Indonesia bisa saling mengetahui perkembangan penelitian masing-masing, dan selanjutnya diharapkan mereka bisa berkomunikasi dan bekerjasama untuk melakukan penelitian bersama,” jelas Najib.
Seminar menghadirkan Profesor Jay Sanjayan dari Swinburne University of Technology dan Associate Profesor Sotya Astutiningsih dari Universitas Indonesia (UI). Acara dipandu Profesor Akbar Ramdhani yang merupakan Presiden IARNA.
“Dalam seminar ini, kita mengangkat topik yang sedang berkembang di Australia dan Indonesia, yaitu aplikasi teknologi 3D printing dalam industri konstruksi. Indonesia dan Australia memiliki iklim yang berbeda, sehingga aplikasi teknologi ini untuk membuat bangunan tentunya memiliki tantangan yang berbeda, dan ini menarik untuk dijadikan topik penelitian bersama antara peneliti Australia dan Indoesia,” urai Najib.
Najib juga berharap agar acara ini bisa mendorong terjadinya transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga penelitian-penelitian di Indonesia bisa berkembang pesat dan Indonesia bisa sejajar dengan Australia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seminar ini dihadiri sejumlah dosen dan peneliti bidang teknik sipil ini. Dalam kesempatan ini, Jay Sanjaya membawakan topik “3D Printing in Construction, Advances and Challenges”. Menurut Jay, yang juga Director of Swinburne’s Center for Sustainable Infrastructure, 3D printing merupakan teknologi printer tiga dimensi.
“Kita bisa membuat gambar tiga dimensi di komputer dan dicetak dalam wujud tiga dimensi dengan 3D printing. Teknologi ini sudah diaplikasikan untuk membangun jembatan dan gedung di berbagai negara seperti di Inggris, Italia, China dan Australia sendiri,” ucap Jay.
Jay melihat sejak tahun 1960-an produktifitas tenaga kerja industri konstruksi telah mengalami penurunan yang konsisten. “Ketika industri manufaktur sudah menerapkan teknologi digital, penginderaan jauh, teknologi otomatisasi dan robotik, sebagian besar industri konstruksi masih melakukan pekerjaannya secara manual. Sehingga ketika sektor lainnya sudah masuk ke Industri 4.0, sektor konstruksi masih belum sampai sana,” tutur Jay.
“Ditemukannya teknologi 3D printing dapat mendorong transformasi pada industri konstruksi. Saya yakin penggunaan teknologi 3D printing dalam industri konstruksi akan meningkatkan akurasi dalam mewujudkan konstruksi yang rumit, meningkatkan produktifitas, dan mengurangi biaya tenaga kerja”, jelas profesor yang mendalami kajian struktur beton ini.
Sementara Dosen dari Universitas Indonesia, Associate Professor Sotya Astutiningsih, menyampaikan topik berjudul “3D Printing and Geopolymer Application in Indonesia”. Geopolimer, dijelaskan Sotya, adalah campuran beton dimana material semen digantikan oleh bahan sampingan seperti abu terbang, abu kulit padi, dan lain-lain, yang banyak mengandung silikon dan aluminium.
“Geopolimer sebagai bahan konstruksi lebih berkelanjutan dibanding semen biasa. Selain itu juga sebagai bahan bangunan, Geopolimer memiliki struktur yang lebih baik,” ungkap Sotya.
“Di Indonesia sendiri, teknologi 3D printer relatif masih baru. Di kampus, kami menggunakannya masih dalam skala kecil atau skala laboraturium untuk membuat prototype. Namun begitu, saat ini sudah ada perusahaan start-up di Indonesia yang sukses menggunakan teknologi 3D printer untuk membuat bangunan rumah tapak tipe 36,” urai Sotya.
Tantangan penggunaan teknologi 3D printing di Indonesia, kata Sotya, adalah cuaca. “Karena suhu yang panas menyebabkan semen menjadi cepat kering dan mengeras. Dan kalau hal ini terjadi di dalam printer, maka akan sulit untuk memperbaikinya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi bahan yang tepat untuk bisa membuat bangunan dengan teknologi 3D printing ini,” tutup Sotya.***(Atdikbud Canberra/ Lydia Agustina/ Seno Hartono).
Sumber :